OPINI – Dalam politik, keberanian sering kali lahir dari rasa cukup—cukup diam, cukup melihat ketidakadilan, cukup muak dengan janji yang tak ditepati. Dan ketika rakyat membuka suara, ketika satu orang biasa berani berkata jujur di tengah kebisingan propaganda, maka dimulailah sesuatu yang tak bisa lagi diabaikan.
Namun, memulai kritik bukan hanya soal keberanian. Ia juga soal tanggung jawab. Sebab suara rakyat, ketika menggema, punya kekuatan untuk mengubah arah negara. Dan kekuatan, sekecil apa pun awalnya, selalu datang dengan resiko: disalahpahami, diseret ke politik partisan, bahkan digunakan oleh mereka yang tak lebih baik dari yang dikritik.
Itulah dilema demokrasi. Bahwa rakyat yang sadar dan bersuara bisa menjadi agen perubahan, tapi juga bisa terjebak dalam siklus yang sama jika tak waspada.
Kita sering meromantisasi mereka yang memulai perlawanan—sosok biasa yang bangkit melawan rezim, yang menulis dengan tangan gemetar, yang berbicara dengan suara yang nyaris tenggelam oleh pengeras suara penguasa. Tapi jarang kita bicara tentang bab berikutnya: bagaimana mereka mengakhiri?
Mengakhiri bukan berarti menyerah. Mengakhiri berarti tahu kapan suara harus diganti dengan struktur. Kapan kritik harus dialihkan menjadi rancangan. Kapan idealisme harus diuji dalam kerja nyata, bukan hanya slogan.
Banyak gerakan rakyat yang gagal bukan karena tidak benar, tapi karena tak tahu kapan harus menutup bab kritik dan mulai menulis bab pembangunan. Terlalu lama tinggal dalam narasi “melawan” bisa membuat kita lupa tujuan awal: membangun. Bukan sekadar menjatuhkan.
Maka dari itu, penting bagi setiap suara kritis untuk juga mempersiapkan fase sunyi—saat mikrofon dimatikan, saat panggung dikosongkan, dan saat perubahan mulai bekerja tanpa harus terus-menerus disoraki. Sebab demokrasi sejati bukan hanya tentang siapa paling keras berbicara, tapi siapa yang mau bertanggung jawab setelah keramaian reda.
Dan tanggung jawab itu mencakup hal yang paling sulit: menyingkir ketika waktunya. Memberi tempat bagi sistem yang diperjuangkan untuk tumbuh, bahkan jika tanpa kita di dalamnya.
Siapa yang memulai harus siap mengakhiri. Itu bukan kelemahan, itu kedewasaan. Karena tujuan dari kritik bukanlah menjadi penguasa baru—tapi memastikan tak ada lagi kekuasaan yang terlalu lama tak dikritik.