OPINI – Demokrasi itu mahal. Tapi menjadi jauh lebih mahal saat integritas prosesnya diragukan, dan hasilnya disengketakan berulang kali. Kasus Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada di Gorontalo Utara menjadi bukti nyata bahwa kontestasi politik lokal bisa bertransformasi menjadi beban fiskal daerah yang serius.
Pilkada serentak 2024 di Gorontalo Utara menghabiskan anggaran sekitar Rp50 miliar. Namun akibat gugatan terhadap hasilnya, PSU dilakukan dan menyedot tambahan anggaran sebesar Rp9,2 miliar. Artinya, sekitar 18% biaya ekstra harus dikeluarkan hanya untuk mengulang proses yang secara prosedural seharusnya telah selesai.
Ironisnya, hasil PSU pun kembali disengketakan ke Mahkamah Konstitusi.Siapa yang membayar ongkos ini? Jawabannya jelas: masyarakat. APBD yang semestinya dialokasikan untuk pendidikan, layanan kesehatan, dan pembangunan infrastruktur kini harus menanggung konsekuensi dari ketidakmatangan demokrasi. Namun dampaknya bukan sekadar finansial. Ketika hasil pilkada terus disengketakan, daerah berada dalam ketidakpastian kepemimpinan.
Penjabat Kepala Daerah yang ditugaskan tidak memiliki legitimasi politik untuk mengambil keputusan strategis. Imbasnya, penyusunan dan pengesahan APBD 2025 terancam tertunda, dan program-program prioritas bisa tersandera.
Situasi di Gorontalo Utara bukan hanya menguji sistem demokrasi, tapi juga mengajak kita merenung: apakah demokrasi masih kita rawat sebagai amanah, ataukah ia perlahan menjadi panggung yang mengorbankan harapan rakyat?.
KPU dan Bawaslu adalah jantung dari kepercayaan publik. Jangan biarkan jantung itu berdetak di bawah bayang-bayang kelalaian. Jika demokrasi adalah lentera, maka integritas Anda adalah sumbunya tanpa nyala yang jujur, cahaya keadilan tak akan sampai ke pelosok hati rakyat. Jangan sampai catatan administratif yang alpa, menjadi bara yang membakar anggaran dan membungkam masa depan.
Kepada para petinggi partai politik, Partai bukan hanya rumah untuk meraih kekuasaan, tapi mestinya menjadi taman untuk menumbuhkan keadaban. Jika partai adalah pohon, maka akarnya adalah nilai, batangnya adalah integritas, dan buahnya adalah pemimpin yang membawa kesejukan bagi rakyatnya. Maka jagalah pohon itu agar tidak rapuh karena hujan ambisi dan angin pragmatisme.
Pilkada bukan soal siapa tercepat mendaki, tapi siapa yang paling kuat menahan diri di tanjakan. Kemenangan sejati bukan ketika suara terbanyak diklaim, tapi ketika rakyat merasa kepercayaan mereka dijaga. Jangan jadikan gugatan sebagai alat memperpanjang konflik, karena luka demokrasi yang tak kunjung sembuh hanya akan menyisakan rakyat yang letih dan kehilangan arah.
Terakhir! saya hanya ingin menitipkan pesan, demokrasi adalah amanah yang tidak hanya dimulai dari pencoblosan, tapi dari niat yang jernih dan akhlak yang lurus. Jika kekuasaan adalah titipan, maka memperjuangkannya harus tetap dalam batas adab. Mari rawat demokrasi ini dengan jiwa yang tunduk, agar anggaran rakyat tak lagi menjadi abu dari pertarungan yang kehilangan nurani.