OPINI – Manusia adalah zoon politikon,” tulis Aristoteles lebih dari dua ribu tahun lalu. Kalimat singkat itu menjadi salah satu gagasan paling berpengaruh dalam sejarah filsafat politik. Ia berarti: manusia adalah makhluk politik, makhluk yang hanya dapat menemukan jati dirinya ketika hidup bersama dalam tatanan sosial dan politik.
Pandangan ini bukan sekadar teori kuno, melainkan cermin yang masih sangat relevan untuk memahami dunia politik dan kehidupan bernegara saat ini.
Dalam pandangan Aristoteles, manusia tidak diciptakan untuk hidup sendirian. Ia membutuhkan orang lain, bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk mencapai kehidupan yang baik — the good life. Dari keluarga, manusia berkembang membentuk komunitas, hingga akhirnya melahirkan negara (polis) sebagai tatanan moral dan politik yang paling tinggi. Negara, bagi Aristoteles, bukan sekadar organisasi kekuasaan, tetapi ruang untuk mencapai kebaikan bersama (common good).
Di sinilah politik menemukan makna aslinya: bukan perebutan kekuasaan, melainkan seni mengatur kehidupan bersama agar manusia bisa hidup bermartabat. Namun sayangnya, dalam praktik modern, politik sering kali kehilangan makna moralnya. Ia berubah menjadi arena transaksi dan dominasi. Padahal, sejatinya, politik adalah wujud kemanusiaan itu sendiri.
Sebagai political animal, manusia memiliki dorongan alami untuk berpartisipasi, berdialog, dan menentukan arah kehidupan bersama. Partisipasi ini merupakan bagian dari kodratnya. Ketika manusia menolak politik, sesungguhnya ia sedang menolak sebagian dari kemanusiaannya. Aristoteles bahkan memperingatkan: “Mereka yang enggan berpolitik akan diperintah oleh mereka yang lebih buruk dari dirinya.” Di sini tersirat pesan mendalam bahwa apatisme politik sama bahayanya dengan tirani.
Dalam sistem demokrasi modern, hakikat “makhluk politik” ini diwujudkan melalui partisipasi warga negara. Demokrasi sejati tidak lahir dari pemilu semata, tetapi dari keterlibatan aktif rakyat dalam membentuk kebijakan publik. Ketika rakyat berhenti berpikir kritis dan membiarkan elite mengendalikan segalanya, politik kehilangan rohnya. Maka, kesadaran politik menjadi prasyarat bagi keberlangsungan negara yang sehat.
Namun, menjadi makhluk politik tidak selalu berarti manusia akan bertindak rasional. Politik selalu sarat dengan emosi, ambisi, dan kepentingan. Karena itu, Aristoteles menegaskan pentingnya virtue — kebajikan — dalam kehidupan politik. Negara yang baik adalah negara yang mampu menumbuhkan karakter moral warganya, bukan sekadar menegakkan hukum. Politik yang kehilangan moralitas akan menjelma menjadi instrumen kekuasaan semata.
Thomas Hobbes dalam Leviathan menggambarkan manusia tanpa tatanan politik sebagai makhluk yang hidup dalam “perang semua melawan semua.” Ia mengajukan kontrak sosial sebagai cara untuk keluar dari kekacauan.
Namun, John Locke dan Rousseau kemudian menambahkan, bahwa kontrak sosial tidak boleh menghapus kebebasan individu. Negara harus menjadi pelindung, bukan penguasa atas rakyatnya. Di titik ini, kodrat manusia sebagai political animal menemukan keseimbangannya: antara kebutuhan akan tatanan dan tuntutan akan kebebasan.
Dalam konteks kekuasaan, Michel Foucault mengingatkan bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang jahat dalam dirinya. Kekuasaan adalah jaringan relasi yang ada di semua lapisan masyarakat. Pertanyaannya bukan apakah kekuasaan itu ada, tetapi bagaimana ia dijalankan.
Max Weber menambahkan, bahwa seorang manusia politik sejati harus menyeimbangkan dua hal: ethic of conviction (etika keyakinan) dan ethic of responsibility (etika tanggung jawab). Politik yang bermartabat lahir dari keseimbangan antara idealisme dan tanggung jawab.
Pendidikan politik menjadi kunci utama agar naluri politik manusia tidak disalahgunakan. Tanpa pendidikan, manusia bisa menjadi political animal yang liar — mudah digiring oleh propaganda, uang, atau sentimen kelompok.
Habermas dalam The Theory of Communicative Action menekankan bahwa politik yang sehat hanya mungkin jika warga negara mampu berdialog secara rasional dan setara. Demokrasi deliberatif adalah bentuk tertinggi dari kehidupan politik manusia yang beradab.
Di era digital, politik mengalami transformasi besar. Media sosial membuka ruang publik baru di mana setiap orang dapat bersuara. Di sisi positif, ini memperluas partisipasi; di sisi lain, ia juga memunculkan paradoks baru: kebebasan yang tidak disertai tanggung jawab. Polarisasi, hoaks, dan ujaran kebencian menjadikan ruang publik digital sering kali lebih panas daripada rasional. Naluri politik tanpa moral dan etika bisa menjadi kekuatan yang menghancurkan diri sendiri.
Oleh karena itu, politik hari ini harus dikembalikan pada tujuan dasarnya: kebaikan bersama. Negara bukan sekadar mesin birokrasi atau arena kekuasaan, melainkan perwujudan dari kehidupan moral manusia. Hannah Arendt menyebut politik sebagai “ruang tindakan,” tempat manusia menegaskan eksistensi dan kebebasannya melalui dialog dan kebersamaan. Jika ruang itu rusak, maka yang hilang bukan hanya demokrasi, melainkan kemanusiaan itu sendiri.
Pemimpin juga memiliki tanggung jawab besar dalam memanusiakan politik. Aristoteles menulis, negara yang baik ditentukan oleh karakter pemimpinnya. Machiavelli menambahkan, pemimpin yang efektif bukan hanya yang cerdik, tetapi yang memahami realitas kekuasaan tanpa mengorbankan moral publik. Dalam konteks demokrasi modern, pemimpin sejati bukan penguasa, melainkan pendidik politik bagi rakyatnya — seseorang yang menyalakan kesadaran, bukan memadamkannya.
Indonesia hari ini membutuhkan politik yang berjiwa manusiawi. Politik yang tidak memecah, tetapi menyatukan. Politik yang tidak hanya sibuk menyoal kekuasaan, tetapi juga memperjuangkan keadilan sosial dan kemaslahatan rakyat. Sebab, hanya dengan cara itulah manusia dapat menemukan kembali makna dirinya sebagai makhluk politik: makhluk yang berpikir, berbuat, dan bertanggung jawab terhadap kehidupan bersama.
Akhirnya, menjadi political animal bukan sekadar fakta biologis atau sosial, tetapi panggilan moral. Politik adalah cermin dari siapa kita sebagai manusia. Ia memperlihatkan sejauh mana kita mampu menyeimbangkan kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama. Politik yang baik menuntun manusia menuju kebajikan; politik yang buruk menjerumuskannya ke dalam kebencian. Maka, tugas kita bukan menjauhi politik, melainkan memanusiakannya kembali.
Selama manusia masih mencari keadilan, solidaritas, dan kebaikan bersama, selama itu pula ia akan tetap menjadi makhluk politik — a political animal dalam arti yang paling luhur dan mendalam. (*)
