OPINI – Jean Baudrillard adalah salah satu pemikir postmodern paling berpengaruh yang membongkar cara kerja kapitalisme modern melalui konsep masyarakat konsumsi. Dalam pandangannya, konsumsi tidak lagi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar, melainkan dengan sistem tanda, simbol, dan citra.
Manusia modern hidup bukan untuk memiliki barang, tetapi untuk menjadi tanda melalui apa yang dikonsumsinya. Dalam kerangka ini, tubuh menjadi salah satu objek konsumsi paling utama—media tempat makna sosial dan identitas dikonstruksi.
Dalam bukunya La Société de Consommation (1970), Baudrillard menegaskan bahwa masyarakat modern mengonsumsi bukan karena kebutuhan material, melainkan karena kebutuhan simbolik. Setiap barang, gaya hidup, dan citra tubuh menjadi tanda status sosial, selera, dan prestise. Tubuh tidak lagi bersifat alami, melainkan produk dari sistem makna yang diatur oleh logika pasar dan media massa. Ia bukan milik individu, tetapi milik sistem tanda yang lebih besar.
Baudrillard menyebut bahwa konsumsi adalah “sistem komunikasi” — di mana setiap tindakan membeli, memakai, atau menampilkan sesuatu memiliki makna sosial tertentu. Dalam hal tubuh, konsumsi bekerja melalui simbol-simbol kecantikan, kesehatan, dan kesuksesan.
Tubuh yang ideal bukanlah tubuh yang sehat, melainkan tubuh yang bermakna di mata masyarakat. Artinya, tubuh menjadi teks sosial, bukan entitas biologis.
Dalam masyarakat konsumsi, tubuh berfungsi sebagai alat representasi diri. Ia menjadi proyek yang harus terus dikelola agar sesuai dengan norma dan citra dominan. Gym, diet, mode, kosmetik, hingga operasi plastik adalah bentuk-bentuk produksi tubuh yang dikendalikan oleh logika pasar.
Konsumsi terhadap tubuh tidak lagi bersifat individual, tetapi kolektif, didorong oleh keinginan untuk diakui oleh orang lain. Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai fetisisme tanda.
Fetisisme tanda berarti orang tidak lagi tertarik pada fungsi, melainkan pada tanda yang melekat pada objek. Sepatu bermerek, kulit putih, atau tubuh berotot bukan sekadar atribut, melainkan simbol kekuasaan sosial. Dalam konteks ini, tubuh menjadi “barang konsumsi” yang dipertukarkan melalui citra. Nilainya ditentukan bukan oleh fungsinya, melainkan oleh daya tarik simboliknya di mata publik.
Tubuh dalam logika Baudrillard mengalami de-naturalization — kehilangan sifat alamiahnya. Tubuh bukan lagi sesuatu yang kita miliki, tetapi sesuatu yang harus kita hasilkan. Ia harus dijaga, dipoles, diperbaiki, dan ditampilkan agar sesuai dengan citra ideal yang ditentukan oleh media dan industri.
Akibatnya, tubuh berubah menjadi simulakra, yaitu tiruan yang menggantikan realitas. Tubuh yang ditampilkan di iklan, film, dan media sosial adalah citra yang lebih “nyata” daripada tubuh itu sendiri.
Konsep simulakra dan simulasi adalah kunci pemikiran Baudrillard. Dalam dunia simulakra, tanda tidak lagi merujuk pada realitas, melainkan pada tanda lain. Tubuh yang dikonsumsi masyarakat modern bukan tubuh nyata, tetapi citra yang dihasilkan dan disirkulasikan tanpa henti. Filter digital, editan foto, dan operasi estetika adalah bentuk simulasi tubuh yang membuat batas antara nyata dan tiruan menjadi kabur.
Baudrillard berpendapat bahwa dalam masyarakat simulasi, segala sesuatu menjadi hiperreal — lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Tubuh hiperreal ini ada di dunia mode, iklan, dan media sosial, di mana citra tubuh yang sempurna menjadi standar universal.
Ironisnya, semakin tubuh itu mendekati kesempurnaan citra, semakin ia menjauh dari realitas manusiawi. Tubuh menjadi penjara yang harus selalu tampak “sempurna” agar layak diakui.
Mekanisme konsumsi tubuh ini dijaga oleh kode sosial yang mengatur apa yang dianggap indah, sehat, dan sukses. Kode tersebut berubah menjadi alat kekuasaan.
Baudrillard menunjukkan bahwa dalam masyarakat konsumsi, kekuasaan tidak bekerja secara represif, melainkan persuasif—melalui keinginan dan citra. Manusia merasa bebas memilih, padahal pilihan-pilihan itu sudah ditentukan oleh sistem tanda yang mereka anut.
Tubuh menjadi arena ideologis di mana nilai-nilai kapitalistik beroperasi. Ide tentang kecantikan, kebugaran, dan awet muda diproduksi agar orang terus mengonsumsi produk-produk yang menjanjikan hal itu. Konsumsi atas tubuh adalah konsumsi atas makna sosial yang menempel padanya. Seorang perempuan, misalnya, tidak hanya membeli kosmetik, tetapi juga membeli “pengakuan” bahwa ia berharga di mata masyarakat.
Dalam logika Baudrillard, tidak ada lagi perbedaan jelas antara konsumsi dan produksi. Tubuh sekaligus diproduksi dan dikonsumsi. Ia diproduksi melalui industri kecantikan, kesehatan, dan mode; lalu dikonsumsi melalui pandangan orang lain, foto, dan citra publik. Proses ini menciptakan sirkulasi makna yang tidak pernah berhenti, di mana tubuh terus diobjektifikasi tanpa pernah benar-benar dimiliki.
Baudrillard juga menyoroti efek psikologis dari sistem ini: alienasi dan kehampaan. Tubuh yang terus dikejar kesempurnaannya justru menjadi sumber kecemasan. Individu modern hidup dalam ketegangan antara citra tubuh yang ideal dan kenyataan tubuh yang tidak sempurna.
Akibatnya, konsumsi tidak pernah berujung pada kepuasan, tetapi pada kebutuhan untuk mengonsumsi lebih banyak lagi. Tubuh menjadi medan hasrat yang tak kunjung selesai.
Namun, Baudrillard juga memahami bahwa tubuh dapat menjadi alat perlawanan simbolik. Dalam beberapa konteks, tubuh yang tidak sesuai dengan norma konsumsi—tubuh gemuk, tubuh cacat, tubuh tua, atau tubuh non-biner—dapat menjadi bentuk kritik terhadap sistem tanda dominan.
Dengan menolak menjadi komoditas, tubuh semacam ini menantang logika masyarakat konsumsi dan membuka kemungkinan makna baru tentang keindahan dan keberadaan.
Akan tetapi, bahkan bentuk perlawanan pun kerap diserap kembali oleh sistem. Gerakan body positivity atau estetika alternatif sering dikomodifikasi oleh industri media dan dijadikan strategi pemasaran baru.
Baudrillard menyebut ini sebagai reabsorption, yaitu kemampuan sistem kapitalisme menyerap semua bentuk kritik menjadi bagian dari permainannya sendiri. Tubuh tetap menjadi medan konsumsi, bahkan ketika tampak melawannya.
Akhirnya, bagi Jean Baudrillard, tubuh dalam masyarakat konsumsi adalah cermin dari sistem yang lebih besar: sistem yang menukar makna dengan tanda, realitas dengan simulasi, dan kebutuhan dengan keinginan. Tubuh bukan lagi tempat keberadaan, tetapi permukaan citra.
Ia adalah produk dari ekonomi tanda yang bekerja tanpa henti. Namun di balik pesimisme Baudrillard, terdapat peringatan filosofis: bahwa selama manusia terus mencari makna dirinya melalui konsumsi tubuh dan citra, ia akan tetap menjadi tawanan dari sistem tanda yang ia ciptakan sendiri.
Penulis: Sultan, (Pemikir Jalanan)
