OPINI – Persoalan tambang ilegal selalu menghadirkan ironi yang sukar dihindari, para pelaku yang sama-sama merusak lingkungan justru saling menyerang dalam ruang opini publik. Mereka berebut narasi, seolah-olah salah satu pihak memiliki legitimasi moral lebih tinggi, padahal keduanya berada pada lanskap pelanggaran yang sama. Publik dipaksa menyimak drama yang sesungguhnya hanya memutar ulang persoalan inti ‘eksploitasi tanpa kendali’.
Dalam beberapa kasus, pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas ilegal ini dengan sengaja memproduksi wacana tandingan. Mereka membentuk narasi seolah sedang melakukan “pembenahan”, “penyelamatan mata pencaharian”, atau “pemulihan ekonomi lokal”. Padahal semua itu hanya kamuflase retoris yang tidak menyentuh kenyataan: aktivitas tambang ilegal menghancurkan ekosistem, menggerus ruang hidup masyarakat, dan memicu konflik sosial.
Lebih mengkhawatirkan lagi ketika propaganda media mulai dimainkan. Ruang pemberitaan yang seharusnya menjadi arena kontrol sosial malah dipakai sebagai instrumen legitimasi. Ada media yang secara terang benderang menjadi corong satu pihak, tanpa verifikasi, tanpa keseimbangan informasi. Dalam ekosistem pemberitaan seperti ini, publik kehilangan rambu untuk membedakan fakta dan fabrikasi.
Ketika media dipolitisasi sedemikian rupa, kredibilitas jurnalistik ikut tenggelam. Produk berita bergeser menjadi alat perang opini, bukan lagi produk intelektual yang mengabdi pada kepentingan publik. Ini membuat ruang publik tercemar oleh informasi yang direkayasa, dan pada saat yang sama mempersempit peluang masyarakat untuk mendapatkan gambaran utuh tentang kerusakan yang terjadi.
Para aktivis yang seharusnya berdiri sebagai moral force justru tidak jarang masuk ke dalam lingkaran kepentingan. Fenomena “aktivisme transaksional” menjadi gejala serius: lobi-lobi dilakukan untuk mendapatkan akses, kompensasi, atau kedudukan tertentu. Spirit advokasi yang idealnya berangkat dari komitmen pada keadilan ekologis malah direduksi menjadi manuver pragmatis.
Praktik semacam ini bukan hanya menggerus legitimasi aktivisme, tetapi juga melahirkan ketidakpercayaan publik. Ketika masyarakat melihat aktivis yang seharusnya bersuara paling lantang justru bersikap ambigu, ruang advokasi kehilangan taji. Perjuangan lingkungan menjadi tampak seperti arena barter bukannya perjuangan untuk memperbaiki kondisi bumi dan masyarakat yang terdampak.
Sementara itu, aparat penegak hukum dan pemerintah daerah kerap tampil seperti penonton pasif. Mereka hadir dalam pemberitaan, rapat koordinasi, atau konferensi pers, tetapi minim tindakan nyata di lapangan. Ketidaktegasan ini menimbulkan kesan kuat bahwa negara kalah oleh jaringan kepentingan ekonomi yang mengitari aktivitas tambang ilegal.
Di banyak daerah, mekanisme pengawasan lingkungan berjalan timpang. Ketika laporan masyarakat masuk, tindak lanjutnya lambat. Ketika kerusakan terbukti, penegakan hukumnya menguap. Ketiadaan ketegasan inilah yang membuat pelaku tambang ilegal merasa aman dan leluasa melanjutkan kegiatannya.
Kondisi ini diperparah oleh lemahnya koordinasi antarlembaga. Kementerian, pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Aparat Penegak Hukum sering kali bekerja parsial. Padahal tambang ilegal adalah kejahatan terstruktur, yang membutuhkan respons terintegrasi. Ketidakterpaduan kebijakan membuka celah bagi pelaku untuk memanipulasi regulasi.
Jika ketidakjelasan hukum terus dibiarkan, konflik horizontal antar-pelaku tambang ilegal akan terus meningkat. Mereka saling menyerang bukan untuk memperbaiki keadaan, tetapi untuk mempertahankan wilayah eksploitasi. Benturan kepentingan ini pada akhirnya menyulut instabilitas sosial, memecah komunitas, dan meminggirkan warga yang sebenarnya paling terdampak.
Dalam konfliktualitas seperti ini, masyarakat lokal sering menjadi korban ganda: korban kerusakan lingkungan dan korban manipulasi wacana. Mereka dipaksa menerima perubahan ekologi yang ekstrem seperti banjir, longsor, hancurnya sumber air, tanpa benar-benar memiliki suara dalam proses pengambilan keputusan.
Kita tidak bisa mengabaikan ruang gelap yang menghubungkan pelaku tambang ilegal dengan aktor politik tertentu. Selain modal ekonomi besar, operasi ilegal kerap bertahan karena akses ke jejaring kekuasaan. Di sinilah titik rawan utama: ketika hukum tak lagi menjadi kompas, melainkan instrumen tawar-menawar.
Selama negara absen atau sengaja mengambil posisi ambigu, ruang manuver aktor-aktor destruktif akan semakin besar. Aparat harus berhenti menjadi penonton dan mulai tampil sebagai penegak instrumen negara. Regulasi tidak bermakna jika hanya menjadi arsip administrasi tanpa wujud di lapangan.
Media harus kembali ke mandat etiknya. Kontrol sosial bukanlah slogan, tetapi fungsi publik yang harus dijalankan dengan disiplin verifikasi dan integritas. Di tengah kabut opini yang saling serang, publik membutuhkan media yang tegak lurus pada fakta.
Dunia aktivisme pun perlu kembali menata kompas moral. Jika advokasi lingkungan terjebak dalam jejaring kepentingan, tidak ada lagi yang menjaga kepentingan ekologis. Aktivisme harus kembali menjadi gerakan yang independen, transparan, dan berbasis pada data, bukan personal gain.
Pilihan kita sebenarnya tidak banyak: menormalisasi kerusakan atau memastikan negara kembali menjalankan mandat konstitusionalnya dalam melindungi rakyat dan lingkungan. Ketegasan kebijakan, integritas media, dan advokasi yang bersih adalah tiga pilar yang harus dipulihkan.
Pada akhirnya, persoalan tambang ilegal bukan hanya tentang pelanggaran hukum, tetapi tentang rusaknya ekosistem tanggung jawab. Selama semua pihak sibuk saling menyerang, kerusakan terus berlangsung. Sudah saatnya keberanian politik dan moral ditegakkan, sebelum wilayah-wilayah kita menjadi saksi bisu kegagalan kolektif dalam menjaga lingkungan. (*)
