Penulis : Ato Hamzah, (Badan Penelitian Aset Negara, Lembaga Aliansi Indonesia)
Fenomena sedimentasi di daerah aliran sungai saat ini kian mengkhawatirkan. Banyak sungai yang dulunya terlihat jelas dengan aliran air yang bersih, kini tertutup endapan lumpur hingga sebagian besar dasarnya tak lagi tampak. Kondisi ini bukan sekadar masalah estetika, tetapi ancaman serius bagi daya dukung lingkungan dan keselamatan masyarakat. Sedimentasi yang sudah berada di atas batas wajar telah mengurangi kedalaman sungai, mempersempit jalur aliran, dan meningkatkan risiko banjir setiap kali musim hujan tiba.
Pertanyaan mendasar yang patut diajukan adalah, siapa sebenarnya penyumbang sedimentasi terbesar?
Memang benar, faktor alami seperti erosi akibat curah hujan memiliki kontribusi. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, aktivitas manusia, khususnya perusahaan yang membuka lahan di wilayah hulu, memberi dampak paling besar dan paling nyata.
Perusahaan dengan kekuatan modal besar melakukan pembukaan lahan secara masif di perbukitan dan gunung. Vegetasi yang selama ini menjadi penahan alami air hujan digunduli demi kepentingan industri. Tanah yang kehilangan pelindungnya menjadi rapuh, mudah tergerus, lalu terbawa aliran air menuju sungai. Proses ini berlangsung terus-menerus, menghasilkan timbunan sedimen yang kini menutupi alur sungai dari hulu hingga hilir.
Berdasarkan pantauan lapangan, aktivitas perusahaan tersebut berada di ketinggian strategis, sekitar ratusan meter di atas permukaan laut, pada kawasan yang seharusnya menjadi daerah tangkapan air. Luasan lahan yang sudah dibuka pun tidak sedikit, diperkirakan mencapai ratusan hingga ribuan hektare. Bukaan lahan dengan skala seluas itu jelas menimbulkan risiko sedimentasi jauh lebih tinggi dibandingkan aktivitas masyarakat kecil atau bahkan PETI yang umumnya bersifat sporadis.
Di sinilah letak persoalan yang lebih besar bagaimana dengan AMDAL perusahaan tersebut?
AMDAL seharusnya menjadi dokumen wajib yang memprediksi dampak lingkungan sebelum izin operasi diberikan. Jika benar perusahaan memiliki izin resmi, maka sudah semestinya ada kajian yang menyatakan potensi erosi, risiko sedimentasi, dan rencana pengendalian lingkungan.
Namun, kenyataannya sungai-sungai kini justru penuh endapan lumpur. Maka timbul pertanyaan kritis:
Apakah AMDAL tersebut benar-benar disusun secara profesional atau hanya formalitas administratif?
Apakah ada pengawasan ketat dari pemerintah setelah izin dikeluarkan?
Ataukah pelaksanaan rekomendasi dalam AMDAL diabaikan begitu saja?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak boleh dibiarkan menggantung. Pemerintah daerah maupun pusat wajib meninjau kembali seluruh dokumen AMDAL perusahaan yang beroperasi di wilayah hulu. Sebab, bila AMDAL hanya dijadikan syarat administrasi untuk memperoleh izin tanpa implementasi nyata, maka keberadaannya kehilangan makna.
Dengan kata lain, perusahaan merupakan penyumbang terbesar sedimentasi melalui pembukaan lahan skala besar tanpa pengendalian memadai. Dampaknya kini ditanggung masyarakat hilangnya fungsi sungai sebagai sumber air bersih, meningkatnya risiko banjir, hingga rusaknya ekosistem perairan.
Oleh karena itu, diperlukan langkah tegas berupa:
- Audit lingkungan menyeluruh terhadap perusahaan di wilayah hulu.
- Evaluasi kembali dokumen AMDAL serta kesesuaian implementasinya.
- Penegakan kewajiban reklamasi dan reboisasi secara konsisten.
- Penerapan sanksi tegas bagi perusahaan yang terbukti abai.
Tanpa tindakan nyata, sedimentasi akan terus meningkat, memperparah kerusakan lingkungan, dan meninggalkan warisan masalah ekologis bagi generasi berikutnya. (*)
