Opini WTP: Cermin Berlapis Emas di Depan Ruang Gelap

Oleh : Parmin Ishak (Akademisi)

Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) telah lama menjadi trofi kebanggaan pemerintah daerah, seolah- olah menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan mereka sempurna. Namun, opini ini sering kali seperti cermin berlapis emas: memantulkan kemilau keberhasilan di permukaan, tetapi tidak pernah mengungkap ruang gelap penuh debu di baliknya. Apakah benar WTP adalah bukti pengelolaan yang bersih, atau sekadar tirai mewah yang menutupi retakan sistemik?

Data dari Jaga.ID, melalui Survei Penilaian Integritas Nasional 2023, menunjukkan bahwa skor rata-rata integritas nasional hanya 71,0% kategori rentan terhadap korupsi. Provinsi Gorontalo, misalnya, meski sedikit lebih tinggi dengan skor 71,79, tetap berada dalam kategori yang sama.

Fakta ini menegaskan bahwa laporan keuangan yang mendapatkan opini WTP belum tentu mencerminkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik. Celah-celah dalam sistem audit sering kali dimanfaatkan untuk menyembunyikan penyimpangan yang sistemik.

Opini WTP sering kali tidak lebih dari “kosmetik administratif.” Laporan keuangan disulap sesuai format, sementara substansi akuntabilitas terabai- kan. Layaknya sandiwara megah, dokumen dipoles agar terlihat sempurna, sementara penonton (rakyat) dibutakan oleh gemerlap panggung tanpa pernah menyadari apa yang terjadi di balik layar. Lebih ironis lagi, WTP telah menjelma menjadi alat legitimasi yang memanipulasi persepsi masyarakat.

Survei Penilaian Integritas Nasional Tahun 2023

Data Jaga.ID kembali mengingatkan kita bahwa keindahan administratif ini tidak menjamin bebasnya pengelolaan keuangan dari korupsi. Opini ini justru digunakan oleh banyak kepala daerah untuk menutupi kebobrokan, seakan-akan label WTP adalah “cap suci” yang membebaskan dari segala kesalahan.

Skor integritas yang stagnan bahkan cenderung rawan menunjukkan bahwa audit publik kita belum berfungsi sebagai “lensa pembesar” untuk mengungkap manipulasi, tetapi hanya sekadar cermin berlapis emas yang memantulkan citra semu.

Fakta bahwa kepala daerah yang menerima WTP masih bisa tersandung kasus korupsi adalah bukti nyata bahwa kita sedang menghadapi krisis akuntabilitas. Jika sistem audit publik terus membiarkan opini WTP menjadi sekadar dekorasi, maka kita hanya akan menambah retakan dalam cermin kepercayaan publik.

Auditor harus berubah menjadi penjaga kejujuran yang berani memecahkan ilusi cermin ini, memperlihatkan dengan jujur apakah ruang di belakangnya benar-benar bersih atau penuh manipulasi. WTP seharusnya bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk membangun istana transparansi yang kokoh.

Tetapi untuk itu, kita perlu membongkar tirai emas ini, menyalakan lentera keadilan, dan memastikan bahwa opini audit tidak hanya memantulkan kemilau, tetapi juga merefleksikan kebenaran yang sejati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *