Penulis: Jupri, SH.,MH (Dosen Fak. Hukum Unisan Gorontalo)
Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) setiap 9 Desember selalu menjadi momentum penting untuk kembali menegaskan komitmen bangsa dalam membangun budaya integritas. Namun, pemberantasan korupsi tidak dapat hanya bertumpu pada penegakan hukum. Ia harus ditopang oleh pilar fundamental lain: pendidikan antikorupsi. Melalui pendidikan inilah generasi muda ditempa untuk memahami bahaya korupsi, mengenali celahnya, dan membangun karakter yang kuat untuk menolaknya.
Sejumlah riset menunjukkan bahwa korupsi bukan sekadar persoalan hukum, tetapi merupakan fenomena sosial, politik, dan budaya. Johnston (2014) menjelaskan bahwa korupsi berakar pada struktur kekuasaan yang timpang dan lemahnya nilai integritas di masyarakat. Artinya, upaya memberantas korupsi memerlukan proses jangka panjang yang menanamkan nilai kejujuran, tanggung jawab, keberanian moral, dan akuntabilitas sejak usia dini.
Kajian lain yang dilakukan Andvig & Fjeldstad (2001) memberikan gambaran bahwa perilaku koruptif sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Ketika seseorang tumbuh dalam kultur yang permisif terhadap korupsi, dari praktik suap kecil hingga penyalahgunaan wewenang, nilai pribadi sering kali tidak cukup kuat untuk menahan godaan. Maka, pendidikan antikorupsi harus dikembangkan bukan hanya sebagai materi teoritis, tetapi sebagai pengalaman sosial yang menanamkan budaya menolak ketidakjujuran di sekolah, rumah, hingga ruang publik.
Klitgaard (2015) menegaskan bahwa pemberantasan korupsi akan efektif jika dilakukan melalui kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan sektor swasta. Pendidikan antikorupsi karenanya tidak boleh eksklusif milik institusi pendidikan formal. Dunia usaha, masyarakat sipil, hingga media massa perlu mengambil peran aktif untuk menciptakan ekosistem integritas. Semua pihak harus membangun standar perilaku yang sama: tidak mentolerir korupsi dalam bentuk apa pun.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan antikorupsi telah diperkuat melalui kurikulum dan berbagai program pembinaan karakter. Suharyanto (2019) menekankan bahwa pendidikan antikorupsi memiliki peran strategis dalam membentuk karakter peserta didik yang berintegritas. Ia bukan sekadar program sosialisasi, tetapi sebuah proses internalisasi nilai yang berkelanjutan. Pendidikan yang baik harus mampu mendorong peserta didik untuk berpikir kritis, berani bertanya, berani menolak, dan mampu mengidentifikasi ketidakadilan.
Di sisi lain, strategi pencegahan korupsi modern menuntut pemanfaatan teknologi. Penelitian Firmansyah & Winardi (2020) menunjukkan bahwa sistem berbasis digital mampu memperkecil interaksi langsung yang sering menjadi pintu masuk praktik koruptif. Transparansi berbasis teknologi ini dapat diintegrasikan ke dalam pendidikan antikorupsi sebagai materi pembelajaran, agar generasi muda memahami bahwa integritas kini juga berkaitan dengan kemampuan memanfaatkan teknologi untuk menciptakan tata kelola bersih.
Dengan demikian, pendidikan antikorupsi perlu dipahami bukan sebagai mata pelajaran tambahan, tetapi sebagai gerakan moral dan sosial. Ia harus ada dalam setiap jenjang pendidikan, setiap kegiatan organisasi pemuda, setiap media pembelajaran digital, hingga setiap aktivitas yang melibatkan pengambilan keputusan.
Mencetak generasi berintegritas bukan proses instan. Ia memerlukan teladan dari pemimpin, konsistensi dari orang tua dan guru, keberanian masyarakat melawan praktik tidak jujur, serta komitmen institusi negara untuk memperkuat sistem.
Hakordia harus menjadi pengingat bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya bergantung pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau aparat penegak hukum. Ia dimulai dari ruang terkecil—kelas sekolah, rumah, komunitas—melalui pendidikan antikorupsi yang membangun karakter. Generasi muda yang dididik dengan nilai integritas hari ini adalah pondasi Indonesia yang bersih, kuat, dan maju di masa depan.
Lebih jauh, pendidikan antikorupsi perlu diarahkan pada penguatan deep democratization, sebagaimana dikemukakan Johnston. Demokratisasi yang mendalam bukan hanya menghadirkan prosedur formal, tetapi membangun budaya politik yang transparan dan partisipatif. Generasi yang memahami nilai demokrasi sejak di bangku sekolah akan tumbuh sebagai warga negara yang kritis terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Mereka tidak mudah tunduk pada praktik transaksional dalam politik maupun birokrasi.
Tantangan terbesar hari ini adalah bagaimana pendidikan antikorupsi tidak berhenti pada wacana. Banyak institusi pendidikan sudah memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum, namun implementasinya sering bersifat seremonial. Padahal, korupsi berkembang melalui mekanisme yang kompleks, sebagaimana dipaparkan dalam kajian Andvig & Fjeldstad (2001).
Untuk itu, strategi pendidikan harus mengajarkan siswa bagaimana memahami pola kekuasaan, konflik kepentingan, celah regulasi, hingga bagaimana sebuah keputusan publik dapat dipengaruhi oleh kepentingan tertentu.
Selain itu, aspek keteladanan tetap menjadi titik kritis. Pendidikan antikorupsi akan kehilangan makna ketika guru, pejabat sekolah, atau pemimpin masyarakat justru mempertontonkan praktik yang bertentangan dengan nilai integritas. Keteladanan adalah kurikulum terbesar sekaligus metode pendidikan paling efektif. Tanpa keteladanan, nilai antikorupsi akan berhenti sebagai slogan.
Pada level kebijakan, sinergi antar-lembaga adalah kebutuhan mendesak. Klitgaard (2015) mengingatkan bahwa korupsi hanya dapat diberantas melalui kolaborasi lintas sektor. Pemerintah pusat dan daerah harus berinvestasi dalam program pendidikan antikorupsi, terutama untuk penguatan kapasitas guru, pengembangan modul pembelajaran, serta integrasi nilai integritas dalam kegiatan ekstrakurikuler dan organisasi pemuda. Dunia usaha pun harus memastikan bahwa etika bisnis dan tata kelola perusahaan berjalan seiring dengan nilai antikorupsi yang diajarkan di sekolah.
Di era digital, literasi teknologi juga menjadi bagian dari pendidikan antikorupsi. Anak muda adalah digital natives yang hidup dalam ekosistem informasi terbuka. Temuan Firmansyah & Winardi (2020) menunjukkan bahwa sistem digital mampu mempersempit ruang terjadinya korupsi.
Maka, pendidikan antikorupsi perlu mempersiapkan generasi yang bukan hanya berintegritas, tetapi juga memahami bagaimana teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan transparansi, seperti open data, e-government, digital audit, hingga sistem pengaduan publik berbasis aplikasi.
Namun, pendidikan antikorupsi tidak akan efektif tanpa keterlibatan keluarga dan lingkungan sosial. Nilai integritas harus sejalan antara rumah dan sekolah. Ketika anak diajarkan kejujuran di sekolah namun menyaksikan orang tua melakukan praktik pungutan atau penyogokan kecil, terjadi disonansi nilai yang dapat membingungkan perkembangan moral mereka. Karena itu, pendidikan antikorupsi harus menjadi gerakan kolektif yang melibatkan orang tua, tokoh agama, organisasi masyarakat, dan pemuda.
Peringatan Hakordia seharusnya menjadi momentum untuk menilai kembali efektivitas program-program pendidikan antikorupsi yang selama ini berjalan. Sudahkah ia benar-benar menyentuh akar persoalan? Sudahkah nilai integritas tercermin dalam perilaku guru, siswa, pejabat sekolah, dan masyarakat? Ataukah ia hanya menjadi agenda tahunan penuh slogan tanpa perubahan nyata? Pertanyaan-pertanyaan ini penting agar pendidikan antikorupsi tidak kehilangan urgensinya.
Membangun generasi berintegritas adalah investasi jangka panjang. Hasilnya mungkin tidak terlihat dalam waktu dekat, namun akan sangat menentukan kualitas demokrasi, birokrasi, dan perekonomian Indonesia di masa depan. Penelitian Suharyanto (2019) menggarisbawahi bahwa pendidikan antikorupsi adalah pondasi utama pembentukan karakter bangsa. Tanpa itu, Indonesia akan terus berjuang melawan lingkaran korupsi yang berulang.
Indonesia membutuhkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki kemauan moral untuk menolak praktik koruptif. Generasi yang tidak tergoda oleh kekuasaan dan keuntungan sesaat. Generasi yang memahami bahwa integritas adalah modal sosial paling berharga untuk membangun negara.
Pada akhirnya, pendidikan antikorupsi adalah jalan panjang menuju masa depan Indonesia yang lebih bersih. Ia memerlukan komitmen politik, keteladanan moral, sistem yang transparan, dan partisipasi aktif seluruh masyarakat. Jika semua elemen bangsa bergerak bersama, mimpi Indonesia bebas korupsi bukanlah utopia, tetapi tujuan yang dapat dicapai. (*)




