Camat Baru, Masalah Lama: Saatnya Berani Hadapi PETI di Pohuwato

Ditulis oleh. Fikri papempang kader HMI Cabang Pohuwato

OPINI – Pelantikan camat-camat baru di Kabupaten Pohuwato seharusnya menjadi momentum perubahan dan refleksi atas tanggung jawab jabatan publik. Namun, di tengah seremoni pelantikan itu, publik kembali disuguhi kenyataan pahit: tragedi akibat pertambangan tanpa izin (PETI).

Tiga korban, dua di antaranya mengalami luka serius dan satu meninggal dunia di Taluditi, tertimpa pohon saat melakukan aktivitas di lokasi PETI. Beberapa bulan sebelumnya, korban lain tertimpa batu di lokasi berbeda. Rangkaian tragedi ini hanyalah puncak dari gunung es persoalan tambang ilegal yang terus dibiarkan.

Banjir bandang, longsor, hingga kerusakan ekosistem telah menjadi rutinitas bencana yang seolah dianggap wajar. Semua mengarah pada satu persoalan: lemahnya pengawasan dan ketidakseriusan pemerintah daerah dalam memberantas PETI, termasuk di kecamatan-kecamatan yang kini dipimpin para camat baru.

Kepemimpinan di Tengah Krisis

Camat bukan sekadar kepala kantor, melainkan pemimpin di garis depan. Mereka harus mampu membaca potensi ancaman dan bertindak cepat sebelum nyawa rakyat kembali melayang.

Di wilayah seperti Taluditi, aktivitas PETI bukan hal baru. Seharusnya camat sudah memiliki peta masalah yang jelas: di mana titik rawan, siapa pemain utamanya, dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat. Faktanya, korban terus berjatuhan, lingkungan semakin rusak, sementara para pelaku PETI tetap bebas beroperasi.

Sudah cukup alasan klasik seperti “kewenangan ada di provinsi” atau “kami sudah koordinasi.” Koordinasi tanpa aksi hanyalah birokrasi tanpa solusi. Camat harus berani keluar dari zona nyaman dan menjadikan PETI sebagai prioritas utama. Jika tidak, pelantikan mereka hanya akan menjadi formalitas tanpa makna.

Tragedi yang Bisa Dicegah

Peristiwa di Taluditi bukan kecelakaan biasa, melainkan kelalaian struktural. Lingkungan yang rusak akibat tambang liar sudah jelas berisiko tinggi terhadap keselamatan manusia. Artinya, tragedi tersebut bisa dicegah jika pemerintah bertindak nyata.

PETI bukan hanya masalah hukum, tetapi juga krisis kemanusiaan dan lingkungan. Saat sungai tercemar, hutan gundul, dan banjir merendam rumah warga, yang dipertaruhkan bukan hanya hari ini, tapi masa depan generasi Pohuwato.

Tunttuyan HMI Cabang Pohuwato

Kami, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pohuwato, yang konsisten mengawal isu lingkungan dan kemanusiaan, menuntut agar camat-camat yang baru dilantik:

Melakukan inventarisasi dan pelaporan titik-titik PETI aktif di wilayah masing-masing, lengkap dengan data kerusakan lingkungan dan potensi bahayanya.

Mendorong penegakan hukum secara tegas bersama Polri, TNI, dan instansi lingkungan hidup — bukan sekadar menyurati, tetapi mengeksekusi penutupan lokasi tambang ilegal.

Membentuk tim pemantauan kecamatan yang melibatkan tokoh masyarakat dan pemuda untuk mengawasi aktivitas tambang liar secara berkelanjutan.

Menyusun rencana pemulihan lingkungan serta melakukan edukasi publik tentang bahaya PETI di desa-desa terdampak.

Jika camat tidak mampu menjalankan hal-hal mendasar ini, maka mereka telah gagal menunaikan amanah jabatan dan mengkhianati kepercayaan publik.

Harapan atau Sekadar Formalitas?

Sudah terlalu lama Pohuwato menjadi ladang eksploitasi. Alam dikuras, rakyat dikorbankan, dan pejabat hanya diam. Camat yang baru dilantik harus sadar: jabatan bukan hadiah, tetapi amanah yang menuntut keberanian moral.

Tanggung jawab tidak cukup ditunaikan dengan apel pagi atau rapat koordinasi. Ia baru bermakna ketika rakyat merasa aman, lingkungan terlindungi, dan tidak ada lagi nyawa yang menjadi tumbal keserakahan.

Masyarakat menunggu tindakan nyata, bukan janji. Kami tidak butuh camat simbolik, tetapi pemimpin lokal yang berdiri bersama rakyat — terutama ketika nyawa mereka terancam oleh pembiaran terhadap tambang-tambang ilegal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *